JAKARTA - Kementerian Agama (Kemenag) memproyeksikan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 2019 sebesar USD2.675 atau setara dengan Rp38,7 juta dengan kurs rupiah (Rp14.473/USD1).
Dibandingkan 2018, terjadi kenaikan sebesar USD43 karena pada tahun lalu dipatok sebesar USD2.632. Meski selisih kenaikannya hanya USD43 atau sekitar Rp622.422, namun karena terjadi kenaikan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, secara nominal kenaikan rupiah cukup signifikan karena pada BPIH yang ditetapkan pada Maret 2018 pemerintah hanya mematok sebesar USD2.632 atau setara Rp35,2 juta/jamaah dengan kurs rupiah saat ditetapkan hanya sekitar Rp13.388/USD1.
Sementara pada saat pelaksanaan haji kurs rupiah naik hingga tembus angka sekitar Rp15.000/USD1. Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, ada setidaknya tiga variabel yang membuat biaya haji tahun depan meningkat.
Pertama, terkait dengan biaya pesawat udara baik biaya sewa maupun avtur. Kedua, kenaikan biaya transportasi darat dari Mekkah ke Madinah maupun Jeddah dan sebaliknya. “Pemerintah (Arab Saudi) secara resmi menaikkan harga karena mereka ingin meremajakan bus-bus yang digunakan oleh jamaah kita. Ketiga, ada upaya kita untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi jamaah kita, khususnya di Arafah,” sebut Menag di sela rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Menag menuturkan, sebagai upaya perbaikan layanan, nanti tenda-tenda di Arafah akan dilengkapi dengan penyejuk udara (AC) sehingga membutuhkan tambahan biaya sekitar 50 Saudi Arabia Riyal (SAR).
“Itu lalu kemudian menyebabkan (kenaikan anggaran). Jadi sebenarnya kenaikannya riilnya itu bisa sampai USD143 atau USD148, tapi lalu kemudian kita mencoba menyeimbangkan dengan indirect cost-nya sehingga kenaikan yang harus dibayar oleh jamaah itu hanya USD43,” katanya.
Namun, menurut Menag, kenaikan tersebut masih dalam taraf usulan pemerintah dalam pembicaraan pendahuluan yang akan dibahas lebih dalam dengan Tim Panitia Kerja (Panja) DPR.
“Tentu di sana akan sangat dinamis, sampai lalu kemudian kita bisa menyepakati berapa biaya haji yang paling rasional untuk 2019,” tuturnya.
Selain mengenai besaran BPIH 2019, Menang juga mengusulkan skema pembayaran dengan menggunakan mata uang dolar AS (USD). Alasannya, lebih dari 95% pembayaran penyelenggaraan haji dilakukan dengan mata uang asing yakni USD dan SAR.
Sementara penggunaan mata uang rupiah tidak sampai 5%. “Kedua, fluktuasi perubahan kurs mata uang rupiah terhadap USD maupun SAR senantiasa mengalami perubahan,” katanya.
Menurut Lukman, akan lebih aman penetapan biaya haji itu dengan menggunakan USD sehingga pelunasan biaya terkait selisih yang harus dibayarkan jamaah dari setoran awal yang sudah mereka bayarkan tinggal dihitung berdasarkan nilai kurs rupiah saat pembayaran atau pelunasan dilakukan. Skema pembayaran seperti ini, menurut Menag, tidak ada pihak yang dirugikan.
“Kami menganalogikan dengan membeli barang-barang impor, alat-alat elektronik kendaraan bermotor. Itu kan barangnya boleh jadi sama, tapi harganya dari sisi rupiah bisa beda-beda karena nilai kurs beda,” tuturnya.
Pada pelaksanaan haji 2018, pemerintah harus menyiapkan anggaran safeguarding sebesar Rp580 miliar karena ada kenaikan nilai tukar rupiah terhadap USD. Dari jumlah itu, anggaran yang digunakan sebesar Rp304 miliar.
Sementara surplus anggaran total mencapai Rp746 miliar. “Konsekuensi (2018) menggunakan rupiah pada saat ditetapkan dan pada saat pelaksanaan, (ketika) mata uang rupiah melemah terhadap USD sehingga (pemerintah) harus membayar selisih dari safeguarding cukup besar sampai Rp500 miliar. Karena itu, sebaiknya kita tidak mengulang,” katanya.
Menag memaparkan, pembahasan BPIH masih akan dibahas lebih lanjut dengan DPR. Pada akhir Januari 2019 nanti diharapkan besaran finalnya sudah bisa ditetapkan. “Jadi kita berharap selama Desember ini bisa secara intensif dilakukan pembahasan sehingga memasuki pertengahan Januari karena DPR akan reses, mudah-mudahan sebelum reses ini bisa ditetapkan,” katanya.
Mengenai kuota jamaah haji, Lukman mengatakan bahwa tidak ada perubahan dari 2018 yakni sebesar 221.000 jamaah, yang terdiri atas 204.000 jamaah haji reguler dan 17.000 untuk haji khusus.
Menurutnya, pemerintah memang tidak mengajukan penambahan kuota haji selama sarana dan prasarana di Mina belum ditingkatkan dengan baik. Hal itu lantaran kondisi tenda dan toilet seperti masukan dari anggota dewan yang sangat dikeluhkan karena tingkat kepadatan tenda itu luar biasa.
“Toilet juga begitu terbatas jumlahnya sehingga tanpa didahului dengan penambahan sarana dan prasarana ini, menambah kuota jamaah bisa mengakibatkan tragedi kemanusiaan dan mengancam semua keselamatan jiwa kita,” urainya.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengatakan, usulan penggunaan mata uang USD dalam pembayaran ibadah haji bisa dimaklumi karena berdasarkan pengalaman pelaksanaan haji 2018, pemerintah harus mengalokasikan anggaran talangan yang cukup besar akibat fluktuasi nilai tukar rupiah ter hadap dolar AS.
“Dana safeguarding yang kita pakai (2018) itu hampir mencapai Rp600 miliar karena perubahan fluktuasi dan nilai mata rupiah kepada dolar. Jadi kita seolah-olah memberikan kepastian dana haji, tapi di satu sisi kita harus menyiapkan anggaran yang lebih besar,” katanya.
Menurut politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, hal yang paling penting adalah bagaimana tata cara pengelolaan dana jamaah yang disetorkan kepada pemerintah.
“Itu yang harus kita kaji. Kalau tadi kan hitung-hitungannya diban ding tahun lalu hanya 43 dolar saja bedanya. Kalau begitu bagaimana tata cara kelolanya agar fluktuasinya tidak terlalu besar maka menetapkan besaran mata rupiah ke dolar itu harus hati-hati. Nanti panja akan jeli membahas itu semua,” ucapnya. (Abdul Rochim)
Sumber: Kaskus