Kehadiran turis di berbagai destinasi wisata di negeri ini tak melulu membawa berkah. Di antara turis yang datang, ada yang berpotensi menjadi pelaku kejahatan seksual, termasuk paedofil.
Lembaga pemerhati anak ECPAT Indonesia menemukan berbagai kasus terkait dengan kekerasan dan eksploitasi seksual anak, termasuk warga negara asing yang diduga paedofil, di destinasi wisata di Indonesia. Para pelaku diketahui memiliki strategi khusus untuk bisa melakukan aksi bejatnya itu.
Koordinator ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian menyebut misalnya di Bali, para pelaku biasanya memilih tinggal berlama-lama di salah satu desa wisata. Ini dilakukan agar mereka bisa berinteraksi dengan masyarakat setempat, yang bertujuan untuk membangun kepercayaan dengan masyarakat tersebut. Begitu hubungan itu terjalin biasanya mereka langsung melakukan aksinya.
"Setelah terbangun mereka mulai berinteraksi dengan anaknya. Datang ke rumah bawa makanan hingga akhirnya bisa membawa anak-anak itu ke tempat mereka menginap," ungkapnya saat ditemui di Jakarta, Kamis 28 Desember 2017.
Dia membeberkan salah satu temuan ECPAT Indonesia berkaitan dengan kasus tersebut. ECPAT menemukan dua anak usia 14 tahun dan 16 tahun yang diajak berlibur oleh wisatawan asal Belanda yang berusia 75 tahun, ke Bangkok Thailand. Wisawatan yang mengaku berprofesi sebagai wirausaha di Filipina itu membiayai seluruh pengeluaran, termasuk pembuatan paspor ke dua remaja itu. Menurut Sofian, kedua anak remaja itu bisa dibawa karena memang sudah ada kepercayaan yang terbentuk karena interaksi yang dibangunnya.
Sofian mengatakan, kedua anak itu sulit untuk dimintai keterangan mengenai kegatan apa saja yang dilakukan selama berlibur di Bangkok. "Anak itu sangat tertutup dia enggak cerita dia ngapain aja sama wisatawan itu, dari situ diketahui bahwa doktrin dari paedofil kuat sehingga anak itu tidak mau menceritakannya," ujarnya.
Tak hanya itu,ia pun menemukan modus lainnya yang dilakukan oleh wisatawan asing dengan anak-anak di Bali. "Ada villa punya kolam renang. Anak-anak dibawa ke kolam renang, difoto, dan diberi es krim," ujarnya.
Tak hanya di Bali, kasus wisatawan yang memiliki "penyakit" tersebut juga menjamah kawasan Lombok. Dia menuturkan, perlakuan yang diberikan untuk menarik perhatian anak-anak dilakukan dengan cara mendirikan yayasan beasiswa untuk anak laki-laki.
"Kalau di Lombok mereka buat yayasan beasiswa untuk anak kurang mampu. Dia interaksi buat yayasan untuk bantuan pendidikan. Anak laki-laki tingkat religius tinggi dan anak perempuan susah untuk didekati. Dengan yayasan pendidikan dan beasiswa masyarakat jadi enggak ragu," bebernya.
Dia pun menyebut, salah satu cara pencegahan yang bisa dilakukan oleh masyarakat di kawasan wisata di belahan dunia lain, agar terhindar dari kasus tersebut adalah dengan melarang anak-anak mereka berada di kawasan destinasi wisata tanpa pengawasan orangtua.
"Kalau di kita bebas dan bisa berkomunikasi dengan wisman. Semua anak-anaknya bebas berkeliaran di lokasi itu tanpa diawasi orangtua."