Foto udara Palangka Raya, menunjukkan Jembatan Kahayan, salah satu ikon "Kota Cantik" itu, Kamis pagi (8/8). © Wisnu Agung Prasetyo / Beritagar.id
Pemerintah tengah mengkaji pemindahan ibu kota. Jakarta yang sesak dianggap tak ideal. Palangka Raya jadi salah satu kandidat kuat penggantinya.
----------
Isu pemindahan ibu kota santer terdengar beberapa bulan terakhir. Alasannya, Jakarta sudah kelebihan beban berikut masalah: macet, banjir, arus urbanisasi, dan seterusnya.
Selain meringankan beban Jakarta, pemindahan ibu kota diharapkan bisa mendorong pemerataan pembangunan. Rencananya, pemindahan akan berlaku untuk pusat pemerintahan. Sedangkan pusat perekonomian tetap di Jakarta.
Dalam riuh isu itu, nama Palangka Raya terselip sebagai salah satu kandidat ibu kota.
Dari Jakarta butuh waktu 1 jam 20 menit penerbangan (tanpa perbedaan waktu) menuju Bandara Tjilik Riwut di Palangka Raya. Bandara yang dikelola pemerintah itu merupakan satu-satunya gapura Palangka Raya dari Jakarta.
Saban hari, ada empat penerbangan rute Jakarta-Palangka Raya dan sebaliknya. Selain itu, ada lima penerbangan dari (dan menuju) luar Pulau Kalimantan--Surabaya (3), Solo (1), dan Makassar (1).
Pusat kota Palangka Raya berjarak sekitar 13 kilometer dari Bandara Tjilik Riwut, yang makan waktu lebih kurang 20 menit perjalanan dengan melintasi jalan arteri nan lengang. Jalanan Palangka Raya memang sepi. Keramaiannya tersentral di jalan-jalan utama, macam Jalan Tjilik Riwut, Jalan Imam Bonjol, Jalan Yos Sudarso, dan Jalan Ahmad Yani.
Kacamata statistik kian tunjukkan Palangka Raya yang lengang. Kota berusia 60 ini punya luas sekitar 2.800 kilometer persegi, dengan tingkat kepadatan penduduk hanya 91 jiwa per kilometer persegi. Angka tersebut jomplang bila disandingkan dengan Jakarta yang kepadatannya lebih dari 15.000 jiwa per kilometer persegi.
Maklum, sebagian wilayah Palangka Raya berupa hutan, gambut, dan perkebunan. Saking sepinya, warga lokal punya pemeo yang menyebut kode "KH" pada pelat nomor wilayah Kalimantan Tengah memiliki kepanjangan "Kurang Hiburan".
Laiknya kota-kota di Kalimantan, Palangka Raya juga dilintasi sungai besar: Sungai Kahayan.
Bila bertandang ke perkampungan di tepi Sungai Kahayan akan terlihat pemandangan khas: deretan rumah panggung, kelotok (perahu) yang hilir mudik di sungai, dermaga-dermaga kecil, pondokan terapung, dan jalan kampung berupa panggung titian dari papan.
Penduduk asli Palangka Raya adalah suku Dayak Ngaju. Etnik dominan lain adalah Suku Banjar yang eksodus dari Banjarmasin--sekitar 4 jam perjalanan darat dari Palangka Raya.
Alhasil, selain Bahasa Indonesia, percakapan sehari-hari warganya berlangsung dalam Bahasa Dayak Ngaju dan Banjar.
Selain itu, bila berkunjung ke pasar tradisional, jangan heran bila mendengar orang-orang bercakap dalam medok Jawa. Orang Jawa di Palangka Raya cukup dominan dalam perdagangan di pasar tradisional. Populasinya juga bisa ditemukan di sejumlah wilayah transmigran di pinggiran Palangka Raya.
Etnik lain yang mendiami Palangka Raya adalah Madura, Sunda, Batak, dan Bali.
Seorang warga mengarungi Sungai Kahiyan dengan kelotok di Kelurahan Pahandut, Kecamatan Pahandut, Palangka Raya.
© Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id
Tokoh adat Dayak, Sabran Achmad (86) mengatakan kearifan penduduk asli membuat Palangka Raya terbuka bagi pendatang dari pelbagai latar identitas--etnik dan agama.
Keterbukaan itu, kata Sabran, sesuai dengan falsafah Rumah Betang, rumah adat yang menjadi sentral kebudayaan Dayak.
"Bagi orang Dayak, Palangka Raya dan Kalimantan Tengah adalah satu betang besar," kata Sabran, yang ditemui Beritagar.id di kediamannya, Selasa (8/8/2017). Menurut Sabran, orang Dayak terbuka untuk hidup bersama suku lain dalam betang besar termaksud.
Tokoh perintis Kalimantan Tengah itu menjabarkan falsafah Rumah Betang dalam empat pilar: hidup jujur dan bertakwa; hidup dalam kesetaraan; hidup dalam kebersamaan; hidup sebagai abdi hukum.
"Jadi, nilai-nilai Pancasila sudah dipraktikkan orang Dayak sejak ratusan tahun silam, lewat falsafah Rumah Betang," katanya teriring gelak.
Boleh jadi kebetulan, penggali Pancasila sekaligus presiden pertama Indonesia, Sukarno, punya banyak jejak di Palangka Raya.
Jejak nan menonjol adalah Bundaran Besar, silang jalan yang jadi titik sentral Palangka Raya. Ada pula Istana Isen Mulang--kerap dipakai untuk menjamu tamu pemerintah Kalimantan Tengah--yang bersemuka dengan Bundaran Besar. Kedua marka tanah (landmark) tersebut dirancang oleh Sukarno.
Bung Besar memang berperan sebagai konseptor Palangka Raya. Ia juga menancapkan tiang pertama pembangunan Palangka Raya pada 17 Juli 1957. Lokasi pemancangan itu sekarang dikenal sebagai Tugu Sukarno--sekitar 800 meter sebelah utara Bundaran Besar.
Mulanya, Palangka Raya hanya kampung kecil bernama Pahandut, dengan hutan nan luas dan penduduk sekitar 900 jiwa. Sejak diresmikan Sukarno, kampung kecil di tepi Sungai Kahayan itu bersolek menjadi kota dan menyandang nama Palangka Raya.
© Wisnu Agung Prasetyo / Beritagar.id
Sukarno juga punya angan yang belum kesampaian: memindahkan ibu kota ke Palangka Raya. Agaknya, mimpi Bung Besar kembali bergelora pada era Presiden Jokowi.
Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Said Ismail (46), menyampaikan dugaan itu kala berjumpa Beritagar.id di gubernuran, Rabu (9/8/2017). "Presiden Jokowi adalah orang yang menghormati Bung Karno. Wajar, beliau melirik ide-ide Bung Karno," ujarnya.
Presiden Jokowi, kata Said, sudah menyampaikan kemungkinan Palangka Raya menjadi ibu kota Indonesia. Jokowi menyampaikannya saat berkunjung ke Palangka Raya dalam momen Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN), pada 20 Desember 2016.
Menyambut wacana itu, Pemprov Kalteng sudah membentuk tim yang melibatkan beberapa dinas, macam Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), Pekerjaan Umum, dan Kehutanan.
"Kami sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat, termasuk Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)," ujar Said. Bahasan pokok dalam koordinasi adalah soal ketersediaan lahan untuk membangun ibu kota.
"Pemerintah pusat minta 300 ribu hektare, kita siapkan 500 ribu hektare. Permintaan itu disampaikan Bappenas, kira-kira dua bulan lalu di Swiss-Belhotel (Palangka Raya)," kata Said. "Kami siapkan lokasi di segitiga emas, mencakup daerah Palangka Raya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Gunung Mas."
Wilayah termaksud bisa dijangkau dengan menyusuri Jalan Tjilik Riwut atau yang populer dengan julukan "Jalan Rusia".
Beritagar.id menyusuri Jalan Tjilik Riwut sejauh lebih kurang 35 kilometer ke arah Barat dari Bundaran Besar, Palangka Raya. Kami berhenti di satu titik beberapa kilometer dari area wisata Bukit Batu.
Bila dilihat dari lokasi itu, wilayah calon ibu kota termaksud masih berupa hutan belantara tanpa akses jalan. Foto udara menunjukkan bahwa poros yang menonjol hanyalah Jalan Tjilik Riwut-- penghubung utama Palangka Raya dengan beberapa kabupaten sekitar.
Menurut Said, lahan tersebut berstatus tanah negara. "Tinggal dipastikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, apakah hutan itu bisa dilepaskan untuk dibangun kota baru," katanya.
Dosen Arsitektur Universitas Palangka Raya, Wijanarka Arka (kiri); Tokoh adat Dayak, Sabran Achmad (tengah); Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Said Ismail (kanan).
© Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id
Dosen Arsitektur Universitas Palangka Raya, Wijanarka Arka (46), menilai ketersediaan lahan di Palangka Raya dan sekitarnya lebih dari cukup untuk membangun ibu kota. Ia pun sepakat dengan rencana membangun kota baru sebagai pusat pemerintahan Indonesia.
"Sebaiknya dibangun satu kota baru dengan desain baru yang tidak menempel dengan kota induk. Paling tidak satu jam perjalanan dari kota induknya (Palangka Raya)," kata Wijanarka, kala bercakap dengan Beritagar.id di kediamannya, Sabtu (12/8/2017).
Lokasi segitiga emas, menurut Wijanarka, cukup ideal diproyeksikan sebagai ibu kota. Pertama, letaknya yang berada di sebelah barat Palangka Raya lebih layak dibandingkan bagian timur yang merupakan area gambut--tempat cadangan air. Kedua, lokasinya lebih tinggi dari Palangka Raya.
"Palangka Raya hanya 20 meter dari permukaan laut. Kalau sedang pasang, air bisa masuk ke kampung di pinggir Sungai Kahayan. Harus cari wilayah tinggi dan (area) barat itu tingginya bisa mencapai 40 meter," kata penulis buku Sukarno & Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangka Raya (2006) itu.
Terlepas dari luapan sungai yang "jarang terjadi", Wijanarka menyebut keunggulan Palangka Raya yang relatif aman dari bencana, macam tsunami dan gempa bumi.
Ia juga menyinggung posisi Palangka Raya yang ada di tengah gugusan Nusantara. "Letaknya strategis, memberikan efisiensi bagi orang-orang yang akan bepergian ke pusat pemerintahan," katanya.
Meski terbilang ideal, Palangka Raya mesti menunggu hasil kajian pemindahan ibu kota dari Bappenas--rencananya rampung pada akhir 2017. "Kota Cantik" juga masih bersaing dengan kandidat lain, macam Balikpapan (Kalimantan Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Mamuju (Sulawesi Barat).
Fase menunggu itu menyisakan cela ketidakpastian di Palangka Raya dan Kalimantan Tengah, sebagaimana keluh Wagub Said. Pasalnya, kata Said, Palangka Raya selalu jadi kandidat tiap kali isu pemindahan ibu kota bergulir.
"Wacana pemindahan ibu kota sudah lama bergulir. Mulai dari era Bung Karno, dan antara 2008-2010 juga ada kabar-kabar yang sama," katanya. "Kali ini, pemerintah pusat harus tegas. Jangan sampai 'PHP', pemberi harapan palsu. Harus memberi kepastian kepada kami di daerah."
Salah satu dampak dari isu pemindahan ibu kota adalah melonjaknya harga jual tanah di Palangka Raya dan sekitarnya.
Cerita soal melonjaknya harga tanah datang dari Muliansyah (42), warga Jalan Perahu, Palangka Raya. Ia mengaku menjual tanahnya yang berlokasi di Jalan Tjilik Riwut kilometer 7.
"Belum lama ini, tanah saya dibeli orang Jakarta. Saya lepas Rp400 juta. Lima tahun lalu, tanah itu saya beli Rp100 juta," kata pria yang berprofesi sebagai pengusaha itu.
Kenaikan harga tanah juga terjadi di Jalan Temanggung Tilung, sekitar lima kilometer dari pusat kota. Seorang warga Temanggung Tilung, Ijoel (34), menaksir harga tanah di area tempat tinggalnya mencapai Rp600 ribu per meter.
"Saudara saya menjual tanah, luasnya kira-kira 1000 meter persegi seharga Rp600 juta," ujar Ijoel. "Itu tiga bulan lalu. Berarti harga di sini sekitar Rp600 ribu per meter. Padahal 5-7 tahun lalu cuma Rp200 ribu."
Hal senada disampaikan Sabran Achmad, yang mengaku kerap mendengar kabar soal kenaikan harga tanah di Palangka Raya. Ia menyebut harga tanah melonjak hingga "100-200 persen" sejak isu pemindahan ibu kota bergulir.
"Banyak yang cerita kepada saya soal harga tanah naik," kata mantan ketua Dewan Adat Dayak itu. "Investor mulai lihat-lihat tanah di sini. Saya khawatir, spekulan bisa bermain, ekonomi bisa 'bergetar'."
Sabran pun menyimpan kekhawatiran bila warga Palangka Raya--terutama orang Dayak--tergiur kenaikan harga tanah dan wacana pemindahan ibu kota.
Walau begitu, kekhawatiran bekas kader Partai Nasional Indonesia (PNI) itu hanya satu selipan dalam semangatnya "memberi yang terbaik untuk republik".
"Kalau memang keputusan republik, ibu kota di Kalimantan Tengah, kita menerima 100 persen. Tapi mudah-mudahan, kita tidak sebagaimana orang Betawi di Jakarta, tidak sampai terpinggirkan," katanya memungkasi keluh.