Home
› news
› Ini yang teradi pada orang yang mati SURI
Ini yang teradi pada orang yang mati SURI
Tak ada yang pernah tahu tentang apa yang terjadi setelah mati.
Namun, orang-orang yang pernah punya pengalaman mendekati kematian bisa memberi gambaran.
Charlotte Martial dari University Liège di Belgia meneliti 154 orang yang pernah mendekati kematian atau mengalami mati suri.
Dia
dan timnya mengumpulkan beragam pengalaman orang-orang tersebut serta
mencari tahu apakah pengalaman mendekati kematian selalu sama baik jenis
maupun urutannya.
Riset yang dipublikasikan di Frontiers Research of Neuroscience bulan
Juli 2017 mengungkap, 80 persen responden merasakan kebahagiaan saat
mendekati kematian.
Sementara, 69 persen melihat cahaya terang dan 64 persen bertemu dengan roh-roh orang dikenal yang sudah mati lebih dahulu.
Pengalaman yang paling jarang dirasakan adalah pikiran yang lebih cepat (5 persen) dan kemampuan melihat masa depan (4 persen).
Menurut riset ini, pengalaman mendekati kematian unik pada setiap orang.
Tidak semua jenis pengalaman ada walaupun ada yang paling umum.
Ilustrasi ()
Selain merasakan kedamaian, pengalaman paling umum dirasakan saat
mati suri adalah melihat terowongan dengan cahaya terang di ujungnya.
Meski tak ada urutan pengalaman mati suri, tetapi sepertiga
orang yang mengalaminya merasakan keluar dari tubuh dan kembali lagi.
"Ini menunjukkan bahwa pengalaman mendekati kematian selalu bermula
dari keluar dari tubuh fisik dan berakhir saat kembali lagi," kata
Martial seperti dikutip Science Daily, 26 Juli 2017 lalu.
Martial mengungkapkan, riset tentang pengalaman mendekati kematian
perlu agar ilmuwan memperoleh gambaran untuh yang ilmiah soal fenomena
itu.
Menurutnya,
kita masih perlu tahu lebih jauh tentang pengalaman itu, apakah
dipengaruhi oleh ekspektasi tiap individu dan latar belakang budaya.
Ilustrasi mati ()
Kematian Bisa Jadi Tidak Semenakutkan yang Anda Kira Beberapa
tahun yang lalu, psikolog Kurt Gray berkesempatan untuk membaca
pernyataan terakhir dari 500 narapidana yang dieksekusi antara tahun
1982 hingga 2003.
Dia heran. Mayoritas dari pertanyaan tersebut bernada positif.
Untuk mengetahui bila hal ini hanya terjadi pada sebagian orang saja
atau merupakan fenomena psikologi yang meluas, Gray pun melakukan sebuah
penelitian bersama dengan Universitas North Carolina, Chapel Hill.
Dituturkannya dalam makalah yang dipublikasikan melaluiPsychological
Science, Gray dan kolega membagi penelitian ini menjadi dua fase.
Pada fase pertama, para peneliti menganalisa unggahan blog yang
ditulis oleh pasien-pasien kanker dan amyotrophic lateral sclerosis(ALS)
sebelum meninggal, dan membandingkannya dengan tulisan fiksi dari para
partisipan yang diminta untuk membayangkan bila mereka divonis kanker
serius yang tak dapat disembuhkan.
Ternyata, tulisan para pasien secara rata-rata lebih positif daripada
tulisan orang-orang sehat yang membayangkan dirinya akan mati.
Frekuensi penggunaan kata-kata positif, seperti “bahagia” dan
“cinta”, juga didapati semakin meningkat ketika pasien mendekati ajal.
Hal serupa juga ditemukan pada fase kedua penelitian ketika para
peneliti membandingkan pernyataan terakhir dari para narapidana hukuman
mati dengan pernyataan terakhir yang ditulis oleh partisipanonline. Ilustrasi tanda kematian (Kolase/Sripoku)
Menggunakan usaha terakhir mereka, kebanyakan narapidana
mengungkapkan rasa terima kasih dan cinta kepada keluarga dan
teman-teman mereka.
Tidak sedikit juga yang berkata bahwa mereka pasrah dan rela menerima hukuman mati.
Sebaliknya, orang-orang sehat yang diminta untuk membayangkankematian
lebih seiring menggunakan kata-kata negatif, seperti “takut”, “teror”,
dan “cemas”.
‘Aku akan bertemu dengan orang-orang yang aku cintai’. ‘Aku akan
melakukan sesuatu untuk Yesus’. Mereka juga mengungkapkan cinta kepada
keluarga dan teman-teman mereka.
Hal ini, menurut Gray, sesuai dengan konsep “sistem kekebalan
psikologi” yang pernah ditulis oleh psikolog Harvard Dan Gilbert dalam
bukunya Stumbling on Happiness.
Ketika menghadapi situasi yang buruk, pikiran kita bekerja keras untuk mencari titik terang atau alasan di balik semuanya.
Dia mengatakan, sebagian dari alasan mengapa pasien dan narapidana begitu positif adalah karena mereka berfokus pada orang lain.
Sebaliknya, kita yang sehat biasanya lebih egois ketika memikirkan
kematian – kita berpikir mengenai diri kita sendiri dan betapa sulitnya
hari-hari kita nanti. (Shierine S Wangsa Wibawa/ Kompas.com)