Sejarah kue apem khas jawa

Hai gaes, kali ini perkenankan ane untuk membahas sejarah dari salah satu kue favorit ane nih, yaitu kue apem.
Agan dan sista semua pasti udah gak asing lagi kan dengan kue manis jajanan pasar yang berbentuk bulat ini? Jika dilihat sekilas, memang kue ini agak mirip seperti serabi ya gaes. Hanya saja bedanya, kue apem ini berbahan dasar tepung beras, gula merah dan tape singkong.

Perpaduan ciamik bahan-bahan tersebutlah yang akhirnya menciptakan rasa manis legit dan lezatos yang di sukai oleh semua kalangan. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Kue ini pun sangat dikenal di kalangan masyarakat Jawa lho. Biasanya di sajikan untuk camilan, sarapan pagi bahkan jamuan pesta di rumah.

Biasanya kalau di daerah ane sih, kue ini juga selalu ada di dalam besek kendurian emoticon-Blue Guy Peace. Kue ini selain lezat, ternyata juga memiliki makna yang mendalam lho gaes.

Quote:
Sejarah Singkat Kue Apem

Kue tradisional ini juga bisa dijumpai di banyak daerah di Indonesia maupun Asia Tenggara. Namun, sebenarnya kue apem ini berasal dari daerah Kerala dan Tamil Nadu di India Selatan. Menurut beberapa bukti sejarah ternyata penganan ini sudah dikenal sejak abad pertama Masehi di daerah Tamil.

Catatan mengenai kue apem atau “appam” dalam bahasa Tamil ini dapat ditemukan dalam literatur Tamil Sangam. Kue apem di daerah asalnya (India), juga terbuat dari tepung beras dan santan. Namun terdapat juga beberapa variasi yang menggunakan susu sapi sebagai pengganti santan. Di India kue appam biasa disantap dengan kari ayam atau ikan atau menggunakan saus bumbu pedas yang mirip seperti sambal.

Spoiler for Appam India:


Nah kali ini ane mau bahas tentang kue apem yang berkembang di nusantara ya gaes. Menurut legenda, kue apem ini masuk ke Indonesia karena dibawa oleh Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng, yang merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga yang pada waktu itu baru pulang dari menunaikan ibadah haji. Saat itu beliau melihat penduduk Desa Jatinom, daerah Klaten, kelaparan.

Pada saat itu beliau membawa oleh-oleh 3 buah makanan dari tanah suci. Namun karena terlalu sedikit, kue buah tangan tersebut akhirnya dibuat ulang oleh istrinya, yaitu Nyi Ageng Gribig. Setelah jadi, kue-kue tersebut kemudian dibagikan kepada para penduduk yang kelaparan tersebut. Kemudian Ki Ageng Gribik pun mengajak mereka mengucapkan lafal dzikir Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Para penduduk itu pun akhirnya menjadi kenyang.

Kue tersebut kemudian dikenal oleh masyarakat luas sebagai kue apem. Istilah apem sebenarnya berasal dari bahasa Arab, afuan / afuwwun, yang berarti ampunan. Jadi, dalam filosofi Jawa, kue ini merupakan simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Namun, karena orang Jawa menyederhanakan bahasa Arab tersebut, maka disebutlah apem.

Kue apem ini berbentuk bundar atau bulat melingkar. Hal ini adalah sebagai perlambang adanya suatu kebulatan tekad dalam menjalani kehidupan. Serta kemantapan hati untuk mewujudkan rasa berbakti kepada para leluhur yang bukan hanya sebatas sebatas ucapan dan kata-kata dalam doa. Tetapi hal itu juga harus diwujudkan dalam sikap, tindakan, dan perbuatan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Bahan-bahan yang terkandung dalam kue apem pun ternyata sarat makna. Kebanyakan kue apem yang berkembang disini biasanya terdiri dari beras ketan, santan kelapa, gula dan sedikit garam. Tak lupa juga ada bahan pengharum makanan sebagai tambahannya. Semua itu memuat pesan yakni adanya proses dalam kehidupan dan pentingnya penyelarasan serta harmonisasi antara jagad kecil dengan jagad besar dalam kehidupan semesta ini.

Dalam budaya Jawa, kue apem juga biasa di buat pada saat menjelang bulan Ramadhan. Kue tersebut kemudian diantarkan ke musholla atau masjid-masjid. Setelah berdoa bersama, kue apem dibagikan kepada para penduduk sekitar atau orang-orang yang kurang beruntung. Sehingga bisa dikatakan, kue ini juga menjadi simbol untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap rezeki yang sudah kita dapatkan. Tak hanya itu, kue apem juga mempunyai makna untuk saling memaafkan.



Selain rasanya yang lezat, kue apem ini juga menjadi simbol pada acara-acara tradisional yang sampai sekarang masih di lestarikan di beberapa daerah. Berikut akan ane paparkan beberapa acara tradisional yang selalu menyuguhkan kue apem sebagai panganan khasnya.

Quote:
APEM DI KLATEN

[Event Sejarah] Antara Si Legit Dan Tradisi


Di wilayah Klaten, kue apem biasanya di hidangkan pada tradisi Megengan yang dirayakan dengan meriah. Kue apem ini merupakan simbol paling wajib dalam tradisi tersebut. Megengan berasal dari bahasa Jawa "megeng" yang berarti menahan diri, atau bisa diartikan sebagai puasa itu sendiri. Karena saat berpuasa kita di wajibkan menahan diri, dari semua hal-hal yang dapat membatalkan atau melunturkan nilai puasa itu sendiri.

Tradisi megengan ini berasal dari Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng, sebagai pembawa masuk kue apem ke Indonesia seperti yang sudah ane paparkan di atas. Pada saat tradisi megengan tersebut, kue apem biasa disusun dalam dua gunungan. Yaitu gunungan lanang dan gunungan wadon.

Penyusunan kedua gunungan itu juga memiliki arti tersendiri. Yakni apem disusun menurun seperti sate dengan urutan 2-4-4-3-4 yang menandakan jumlah rakaat dalam shalat Subuh (2 rakaat), Dzuhur (4 rakaat), Ashar (4 rakaat), Maghrib (3 rakaat) dan Isya (4 rakaat). Di antara susunan tersebut juga terdapat kacang panjang, tomat, dan wortel yang melambangkan bahwa masyarakat sekitar hidup dari bidang pertanian.

[Event Sejarah] Antara Si Legit Dan Tradisi

Ada perbedaan antara gunungan lanang dan wadon. Gunungan wadon biasanya di buat lebih pendek dan berbentuk lebih bulat. Sedangkan gunungan lanang dibuat lebih tinggi dan di bawahnya terdapat kepala macan putih dan ular. Kedua hewan tersebut adalah kesayangan Ki Ageng Gribig. Macan putih diibaratkan sebagai Kiai Kopek, sedangkan ular adalah Nyai Kasur milik Ki Ageng Gribig. Gunungan apem ini biasanya diarak keliling kota. Setelah arak-arakan selesai, masyarakat pun bisa menikmati kue apem yang merupakan simbol pengharapan berkah.