Inget gimana Taylor Swift mengungkap kemarahannya terhadap musuh-musuhnya dan mantannya di lagu-lagunya seperti di lagu "You Make Me Wanna Do"? Atau gimana Trump memaki-maki di media sosial dan secara terang-terangan memusuhi ras dan agama tertentu?
Mereka mendendam. Pertanyaannya kenapa sih mereka mendendam? Dilansir dari Melmagazine, sejumlah psikolog menulis tentang mengapa ada orang yang sering menyimpan dendam.
1. Mereka Pemarah
Mendendam biasanya terkait dengan masalah kemarahan yang enggak bisa mereka kendaliin sendiri. Enggak bisa ngelepasin perasaan buruk dan perasaan benci tentang sebuah hal yang udah mengganggu mereka secara terus menerus.
2. Mereka Pemikir yang Simpel
Psikolog mengatakan orang-orang yang menyimpan dendam adalah orang-orang yang membeda-bedakan orang lain, mereka melihat dunia dan orang lain itu murni baik atau sepenuhnya buruk -- tanpa melihat bahwa orang itu bisa abu-abu, di antara baik dan buruk, enggak bisa melihat orang lain itu punya kebaikan maupun keburukan tergantung kadarnya seberapa banyak. Kalo pernah denger orang ngomong gini "Lo ngebela gue apa mau ngelawan gue nih," yap berarti Agan sedang menghadapi orang yang keras kepala yang suka memisah-misahkan tipe orang, dan mungkin saja dia adalah pendendam.
3. Kekanak-kanakan
Psikolog mengatakan bahwa pandangan yang membeda-bedakan orang lain tersebut dipupuk saat masa kecil, sehingga orang cenderung melihat dunia dan orang lain sebagai baik dan buruk. Padahal kan anak-anak itu kurang bijaksana, kurang pengalaman hidup, dan punya kapasitas perkembangan. Nah karena kita yang udah dewasa ini udah bisa mikir, kita mesti bisa sadar kalau punya kekurangan itu, dan berniat buat nggak jadi orang yang pendendam. Caranya dengan melatih diri supaya gak begitu.
4. Mereka Menikmati Identitas jadi "Orang yang Teraniaya"
"Dengan dendam, kita jadi tahu siapa diri kita: yaitu orang yang sering teraniaya" - Kata Nancy Colier, seorang pekerja sosial berlisensi, yang menulis di Psychology Today. Karena udah sering merasa disalah-salahkan, saat dewasa eh kebawa deh menikmati posisi jadi korban terus-terusan. Identitas ini yang akhirnya dia nikmati, dengan "jadi korban" dan akibatnya dia merasa jadi berhak mendendam.
5. Faktor Hormon
Dendam meningkatkan kortisol, hormon stres dan menurunkan "hormon cinta", oxytocin. Dengan mendendam, selanjutnya tubuh kita akan menghasilkan hormon stres yang tinggi dan sedikit toleransi. Sekalipun rasanya enggak enak bagi beberapa orang, para pendendam lebih memilih stres ketimbang merasa rentan.
6. Gak Seimbang Secara Emosional
Kita semua mungkin mau membalas orang yang udah nyakitin kita, tapi energi yang kita habiskan dengan mendendam justru merusak keseimbangan emosi kita. Ya buat apa kan? Enggak ada manfaatnya buat diri kita sendiri.
Kalo terus dibiarkan, jangka panjangnya malah terus menggerogoti keseimbangan emosional kita ke depan, akhirnya ya jadi makin-makin deh sifat dendamnya.
7. Mereka Emang Enggak Tahu Caranya Menyelesaikan Masalah
Orang yang gak pernah belajar gimana caranya bicara atau melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah, cenderung lebih sering menyimpan dendam. "Terkadang kita mendendam karena kita kurang percaya diri dan kurang keahlian penyelesaian konflik untuk mengatasi emosi negatif kita," kata psikolog berlisensi, Tony Ferretti. "Kita cenderung menyerang atau diam saja ketimbang berkomunikasi secara asertif."
Dendam jauh lebih mudah disimpan ketimbang diikhlaskan atau diabaikan, itulah kenapa nasihat tentang gimana caranya melepaskan dendam semuanya terdengar mudah ketimbang dilakukan. Tipsnya, akui saja masalahnya! Ungkapkan ke orang yang dipercaya dan curhatlah ke Tuhan. Lalu, ikhlaskan. Lemesin aja jangan dilawan, terima perspektif lain. Minta maaf atau maafkan. Dengan begitu akan lebih mudah melepaskannya.
Tapi ya orang-orang yang penyimpan dendam akan terus menerus mendendam kalo gak mau sadar sih. Seperti Donald Trump dan Taylor Swift misalnya yang enggak hanya sekedar mendendam, tapi mereka justru menyombongkan kemarahannya, dan menunjukkan rasa dendamnya ke seluruh dunia, menjadikan musuh mereka sebagai pembentuk persona (image) mereka agar terkenal, mengemas diri mereka dengan cara itu, dan membenarkan sikap mereka sebagai sikap yang "self-righteous empowerment".
Orang-orang seperti akan punya fans mereka sendiri. Tapi kalau mengacu ke sejarah sebagai panduan, justru orang-orang besar tidak pernah menyebut nama musuhnya di depan umum. Mereka justru menjadikan musuh mereka sebagai teman untuk melakukan tawar menawar. Itulah alasannya mengapa film-film Godfather, dan semua filosofi mafia dan strategi perang menasehati hal yang sama "Keep your friends close and enemies closer" (Dekati temanmu, dan lebih dekatlah terhadap musuhmu).
Konsep ini muncul dalam buku The 48 Laws of Power, sebuah studi yang mempelajari kekuatan kejam yang dimainkan sepanjang sejarah. Di dalamnya, penulis Robert Greene menulis hukum nomor 2: Jangan menaruh kepercayaan terlalu tinggi dalam pertemanan, belajarlah untuk memanfaatkan musuh. Greene berpendapat para musuh gak hanya akan terkejut saat kamu berteman dengan mereka, tapi bahkan memiliki musuh akan membuat kakimu tetap berpijak di bumi alias bikin enggak lupa diri. Mereka bahkan akan cenderung lebih bersyukur saat kamu memaafkan mereka.
Ini mungkin enggak bisa berhasil diterapkan ke semua orang yang sudah menganiaya Agan; Sebagian besar dari kita emang sebenarnya enggak begitu kejam dan haus kekuasaan. Namanya hidup pasti kadang-kadang terluka, dan terkadang nyakitin orang lain secara gak sengaja atau maupun disengaja; Sikap terbaik dan bijaksana adalah terus bergerak dan enggak membuang terlalu banyak waktu atau energi pada hubungan atau hal yang pada akhirnya enggak bermanfaat apapun untuk Agan.
Ada ungkapan yang menyatakan, menolak memaafkan, seperti meminum racun sendiri namun berharap orang lain yang celaka. Jadi ini yang mesti diingat: dendam, meski terasa mudah dilakukan, jauh lebih menyakiti diri sendiri ketimbang orang lain.