HEADLINE: Dusta Terbongkar, Ilmuwan Dwi Hartanto Tampar
Bagaimana kebohongan Dwi terungkap? Pembentukan sebuah tim investigasi menjadi permulaan. Kepada Liputan6.com, salah satu anggota tim investigasi terkait prestasi yang diklaim Dwi mengatakan, kejanggalan mulai terlihat sejak September 2017.
Saat itu situs Delft University of Technology (TU Delft), kampus tempat Dwi menimba ilmu, menyebut Dwi akan mempertahankan disertasi PhD.
Padahal, selama ini Dwi mengaku sebagai assistant professor, baik di acara Mata Najwa maupun Visiting World Class Professor. Seharusnya dengan jabatan tersebut, dia sudah meraih gelar doktor.
"Tim investigasi dibentuk dari kesadaran alumni sendiri yang sudah lama curiga, tapi belum yakin sampai akhirnya kita lihat jadwal defense PhD dari Dwi Hartanto," ujar sumber yang tak mau disebutkan namanya itu kepada Liputan6.com, Senin, 9 Oktober 2017.
Selain kejanggalan soal sidang PhD, sumber yang sama juga mengatakan bahwa selama ini Dwi tak mau membagi publikasi karya-karyanya. Ia juga menyebut, padatnya perkuliahan di sana membuat para mahasiswa tak punya waktu untuk mencampuri sesamanya.
"Terkait mengapa baru ter-blow up sekarang, selain baru melihat kejanggalan di September ini, kami di TU Delft, jika bertanya tentang karya Dwi Hartanto (misalnya tanya jurnal dia), Beliau selalu tidak mau share dengan alasannya top secret," ujar informan tersebut.
Di luar tim alumni TU Delft yang melibatkan beberapa pihak seperti Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), pihak TU Delft juga membentuk tim investigasi Dwi Hartanto.
"Pihak TU Delft sendiri punya tim yang sekarang masih memproses Dwi Hartanto. Kita enggak tahu nanti bagaimana tindakan dari kampus," ujar sumber tersebut.
Banyak pihak, termasuk media, terkecoh. Termasuk Liputan6.com pada Juni 2017 lalu.
Berita itu memuat segudang prestasi yang dicapai Dwi, seperti memenangi kompetisi antar badan antariksa di Jerman dan meraup hadiah 15.000 euro berkat riset berjudul "Lethal weapon in the sky".
Kebohongan Dwi Hartanto diketahui ketika sebuah dokumen lima lembar bermaterai yang ditandatangani olehnya diunggah ke laman Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Delft, Belanda, 7 Oktober 2017.
Pada laman PPI Delft, surat itu diberi judul "Klarifikasi dan Permohonan Maaf oleh Dwi Hartanto".
Dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, surat itu kemudian tersebar luas ke berbagai pihak, termasuk Liputan6.com. Isi surat tersebut terbagi menjadi 11 bagian.
"Sebagaimana kita ketahui, di beberapa waktu terakhir ini telah beredar informasi berkaitan dengan diri saya yang tidak benar, baik melalui media massa mau pun media sosial. Khususnya perihal kompetensi dan latar belakang saya yang terkait dengan bidang teknologi kedirgantaraan (Aerospace Engineering) seperti teknologi roket, satelit, dan pesawat tempur," tulis Dwi dalam suratnya.
"Saya mengakui bahwa kesalahan ini terjadi karena kekhilafan saya dalam memberikan informasi yang tidak benar (tidak akurat, cenderung melebih-lebihkan), serta tidak melakukan koreksi, verifikasi, dan klarifikasi secara segera setelah informasi yang tidak benar tersebut meluas," lanjut pemuda 35 tahun itu.
Ia menambahkan, "Melalui dokumen ini, saya bermaksud memberikan klarifikasi dan memohon maaf atas informasi-informasi yang tidak benar tersebut."
Dwi mengakui bahwa itu semua kebohongan semata. "Teknologi 'Lethal weapon in the sky' dan klaim paten beberapa teknologi adalah tidak benar dan tidak pernah ada," tulis Dwi dalam dokumen tersebut.
"Saya memanipulasi template cek hadiah yang kemudian saya isi dengan nama saya disertai nilai nominal 15.000 euro, kemudian berfoto dengan cek tersebut. Foto tersebut saya publikasikan melalui akun media sosial saya dengan cerita klaim kemenangan saya," aku Dwi Hartanto.
Beberapa waktu lalu, Dwi Hartanto juga mengaku sedang mengembangkan pesawat tempur dan teknologi teranyar seputar kedirgantaraan militer.
Namun, dalam surat permohonan maaf dan klarifikasi, Dwi menjelaskan, "Informasi mengenai saya bersama tim sedang mengembangkan teknologi pesawat tempur generasi ke-6 adalah tidak benar. Informasi bahwa saya (bersama tim) diminta untuk mengembangkan pesawat tempur EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG adalah tidak benar."
Lantas, bagaimana kebohongan itu dapat terselenggara? Liputan6.com menemukan unggahan berantai dari akun Twitter @vinedict, tertanggal 7 Oktober 2017.
"Sudah pada tau tentang kebohongan #DwiHartanto?" tulis akun Twitter tersebut.
"Dimulai dari kesalahan fatal wartawan (menyebut salah satu media daring Indonesia dan nama si wartawan, red.), yang menulis berita tanpa kros-referensi di... (menulis tautan artikel berita yang dimaksud, red.)," lanjut kicauan itu.
Artikel berita yang dimaksud terbit pada 2015. Dalam berita itu dijelaskan bahwa Dwi telah merancang bangun Satellite Launch Vehicle (SLV) yang diberi nama The Apogee Ranger V7s (TARAV7s). Proyek itu, menurut pengakuan Dwi, merupakan hasil kerja sama dengan Kementerian Pertahanan Belanda.
Akun @vinedict kemudian menyebut, berita itu sukses mendongkrak pamor Dwi sekaligus menggiring minat media lain di Indonesia.
Selepas itu, tawaran wawancara dari berbagai media Tanah Air, baik oleh stasiun televisi hingga daring, datang menghampiri Dwi sepanjang 2015 hingga 2017.
Termasuk di antaranya oleh Liputan6.com awal 2017 lalu, yang berusaha menghubungi Dwi melalui e-mail untuk mengatur janji wawancara.
"Anyway, dengan senang hati kalau saya bisa ikut turut serta dan membantu untuk menularkan ilmu dan pengalaman serta menumbuhkan semangat untuk terus maju dan tidak takut bermimpi besar. Tapi saya sekarang lagi ada di Boston, USA. Lagi ada beberapa project meeting dengan NASA dan MIT," papar Dwi melalui e-mail kepada Liputan6.com, 14 Februari 2017.
Tak ada kecurigaan yang muncul saat itu. Pada Juni 2017, Liputan6.com pun sempat memuat kisah "kesuksesan" Dwi, yaitu memenangi kontes bergengsi di Jerman yang diikuti berbagai badan antariksa dunia.
KBRI Cabut Penghargaan
Penelusuran lain mengantar Liputan6.com pada
sebuah surat terbuka yang ditulis Deden Rukmana, alumni TU Delft yang
kini menjadi Professor and Coordinator of Urban Studies and Planning di
Savannah State University, AS.
Lewat surat yang diunggah ke akun Facebook pribadinya, Deden melayangkan kritik keras dan mencoba menyebut beberapa kejanggalan atas skandal Dwi, menurut versinya.
"Rasa kebanggaan dan kekaguman saya terhadap Dwi Hartanto 'terganggu' ketika saya menerima rangkaian pesan dari WA group Pengurus I-4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional) yang membahas tentang ybs (Dwi). Pada tanggal 10 September 2017 lalu, salah seorang anggota pengurus I-4 secara terpisah mengirimkan dua dokumen lengkap berisikan investigasi terhadap beragam klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto," tulis Deden dalam suratnya.
Dua dokumen seperti yang disebut Deden berisi berbagai bukti dan klarifikasi tentang kejanggalan atas kiprah kebohongan Dwi yang dikumpulkan oleh "tim investigasi" tersebut.
"Kedua dokumen tersebut disiapkan oleh beberapa teman Indonesia di TU Delft yang mengenal Dwi Hartanto secara pribadi. Saya menilai mereka sebagai pihak yang mengetahui kebohongan publik yang dilakukan oleh Dwi Hartanto dan menginginkan agar kebohongan ini dihentikan," ujar dia.
Liputan6.com berusaha mengonfirmasi eksistensi tim investigasi tersebut kepada Ketua PPI Delft, Shiddiq Sumitro. Namun yang bersangkutan menolak berkomentar.
"Dan sekali lagi mohon maaf saya tidak menyampaikan hal selain yang kami publish di website (PPI Delft)," jelas Shiddiq melalui aplikasi percakapan, Senin, 9 Oktober 2017.
Selain berbagai penelusuran di atas, Liputan6.com juga telah menghubungi berbagai pihak terkait untuk mengetahui lebih dalam, salah satunya KBRI Den Haag. Namun, mereka tak mau berkomentar banyak.
"Kasusnya masih dibahas di kode etik Universitas. Kita hormati kewenangan Kampus. Salam," jelas Duta Besar RI untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, kepada Liputan6.com, Senin, 9 Oktober 2017.
KBRI Den Haag tak sepenuhnya diam. Pada 15 September 2017, mereka mencabut gelar penghargaan Dwi Hartanto setelah pemuda itu diketahui terlibat skandal klaim prestasi palsu.
Lewat surat yang diunggah ke akun Facebook pribadinya, Deden melayangkan kritik keras dan mencoba menyebut beberapa kejanggalan atas skandal Dwi, menurut versinya.
"Rasa kebanggaan dan kekaguman saya terhadap Dwi Hartanto 'terganggu' ketika saya menerima rangkaian pesan dari WA group Pengurus I-4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional) yang membahas tentang ybs (Dwi). Pada tanggal 10 September 2017 lalu, salah seorang anggota pengurus I-4 secara terpisah mengirimkan dua dokumen lengkap berisikan investigasi terhadap beragam klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto," tulis Deden dalam suratnya.
Dua dokumen seperti yang disebut Deden berisi berbagai bukti dan klarifikasi tentang kejanggalan atas kiprah kebohongan Dwi yang dikumpulkan oleh "tim investigasi" tersebut.
"Kedua dokumen tersebut disiapkan oleh beberapa teman Indonesia di TU Delft yang mengenal Dwi Hartanto secara pribadi. Saya menilai mereka sebagai pihak yang mengetahui kebohongan publik yang dilakukan oleh Dwi Hartanto dan menginginkan agar kebohongan ini dihentikan," ujar dia.
Liputan6.com berusaha mengonfirmasi eksistensi tim investigasi tersebut kepada Ketua PPI Delft, Shiddiq Sumitro. Namun yang bersangkutan menolak berkomentar.
"Dan sekali lagi mohon maaf saya tidak menyampaikan hal selain yang kami publish di website (PPI Delft)," jelas Shiddiq melalui aplikasi percakapan, Senin, 9 Oktober 2017.
Selain berbagai penelusuran di atas, Liputan6.com juga telah menghubungi berbagai pihak terkait untuk mengetahui lebih dalam, salah satunya KBRI Den Haag. Namun, mereka tak mau berkomentar banyak.
"Kasusnya masih dibahas di kode etik Universitas. Kita hormati kewenangan Kampus. Salam," jelas Duta Besar RI untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, kepada Liputan6.com, Senin, 9 Oktober 2017.
KBRI Den Haag tak sepenuhnya diam. Pada 15 September 2017, mereka mencabut gelar penghargaan Dwi Hartanto setelah pemuda itu diketahui terlibat skandal klaim prestasi palsu.