Terpuruknya Bisnis Ritel Dalam Negri

Amburadul Bisnis Ritel, Pasar Tradisional Ikutan Sepi
  Alfamart Kebakaran, Hampir 10 Mobil Damkar di Terjunkan - HSE CenterQuote: Jakarta - Badai tengah menghadang industri ritel dunia. Di dalam negeri, sejumlah gerai ritel tutup, mulai dari 7-Eleven, dua gerai Matahari Department Store, Ramayana, Lotus Department Store, hingga rencana penutupan gerai Debenhams.

Beratnya bisnis ritel diakui oleh PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT). Pengelola minimarket Alfamart itu tengah menghadapi persoalan kenaikan rasio utang terhadap modal, atau debt to equity ratio (DER).

Pada semester I-2017, DER AMRT naik menjadi 3,58 kali karena adanya tambahan pinjaman Rp 2,6 triliun. Angka tersebut jauh lebih besar dibanding rata-rata industri sebesar 1,82 kali.

Perseroan juga memiliki beban bunga Rp 318 miliar, yang menyebabkan penurunan laba bersih. Pada semester I-2017 perseroan mengalami penurunan laba bersih 16,38% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menjadi Rp 75,5 miliar.


Sekretaris Perusahaan AMRT, Tomin Widian, mengatakan selama ini dalam pembukaan cabang seluruh varian toko ritel Alfamart memang dibiayai dari utang. Sehingga penambahan cabang seiring dengan penambahan beban bunga utang.

Tomin juga mengakui, industri ritel juga saat ini tengah dihadapi kesulitan. Sehingga penambahan cabang yang berasal dari utang belum bisa menyumbang pertumbuhan laba bersih.

"Saat ini, kondisi bisnis ritel secara umum sedang menghadapi tantangan yang cukup berat," tuturnya kepada detikFinance.


Menanggapi hal tersebut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Trikasih Lembong, mengatakan Indonesia tidak sendirian. Banyak negara lain yang industri ritelnya juga tengah melesu.

"Seperti di Eropa, AS dan seluruh dunia ritel sedang amburadul dan sedang mengalami proses pergeseran," kata Thomas.


Mengutip Reuters, Wal-Mart menutup Walmart Express di 269 lokasi di Amerika. Ini karena biaya operasional yang terlalu tinggi namun tidak sesuai dengan pendapatan.

Thomas juga yakin, banyaknya toko ritel yang tutup di Indonesia lantaran adanya pergeseran belanja dari offline ke online. Meskipun menurut dia di Indonesia transaksi belanja online masih terbilang kecil dibandingkan transaksi secara langsung.

Namun Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA/ Indonesia E-Commerce Association), Aulia Ersyah Marinto, tak sependapat dengan pikiran tersebut. Dia menampik jika mulai maraknya jual beli online berkontribusi besar pada tumbangnya para pemain ritel offline. Menurutnya, banyak alasan yang membuat pemain ritel akhirnya memilih menutup gerainya.

"Jadinya informasi yang saya dapat dari pelaku offline, mereka tutup karena banyak hal, seperti melakukan reposisi, enggak ada urusan sama online. Ini harus dicermati. Online juga tak ada kalau tidak ada offline. Kalau anda punya barang dijual online, itu juga dari offline. Atau orang buka online suplainya juga dari offline. Di satu titik, ada sinergi di situ, jangan dikotomi," kata Aulia kepada detikFinance.

Di negara yang toko online sudah berkembang sangat pesat, diakuinya, turut berkontribusi pada lesunya penjalan di toko-toko offline. Namun kondisi di Indonesia jauh berbeda, dimana secara keseluruhan transaksi e-commerce baru di bawah 2%.

CEO Blanja.com ini berujar, situasi sulit yang dihadapi pelaku ritel offline yang dimaksudnya yakni seperti pergeseran dari fisik toko itu sendiri, hingga perubahan pola belanja pada konsumennya.

Pasar Tradisional Ikutan Sepi

Wabah sepinya pelanggan sepertinya juga telah merambah pasar tradisional. Seperti para pedagang di Pasar Tebet Barat, Jakarta Timur yang mengeluhkan pendapatannya menurun lantaran sepinya pembeli.

Dani misalnya, biasnaya dia bisa mengantongi omzet sekitar Rp 2-3 juta per hari, namun saat ini angka omzet itu turun drastis menjadi Rp 800 ribu per hari.

"Biasanya pembeli per harinya 180 orang. Tapi sekarang bisa kurang lebih 80 orang saja," akunya kepada detikFinance.