State Counsellor Myanmar, Aung San Suu Kyi, dalam konferensi pers di Komisi Uni Eropa di Brusel, Belgia (2/5/2017)
Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, bertolak ke Myanmar untuk bertemu State Counsellor/Menlu Myanmar, Aung San Suu Kyi, Minggu (3/9/2017). Perjalanan itu disebut membawa amanah masyarakat Indonesia dan dunia, untuk membantu mengakhiri krisis kemanusian di Rakhine yang melibatkan warga Rohingya.
Selain bertemu Suu Kyi, Menlu Retno direncanakan bertemu dengan Commander in Chief of Defense Services, Senior General U Min Aung Hlaing, Menteri pada kantor Presiden, U Kyaw Tint Swe, dan Nasional Security Advisor, U Thaung Tun. Demikian keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri RI.
Nama Suu Kyi kembali ramai jadi sorotan pasca-memanasnya situasi di Rakhine. Pemilik nama lengkap Daw Aung San Suu Kyi, itu lahir di Rangoon, Myanmar, 19 Juni 1945. Pada 1991 ia meraih Nobel Perdamaian, karena perjuangan anti-kekerasan dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia di negara yang dulu bernama Birma.
Putri dari pemimpin gerakan pembebasan, Aung San, pulang kampung dari sekolah di luar negeri pada 1988, untuk melawan junta mliter yang berkuasa di Birma sejak 1962. Alumni Oxford itu menjadi salah seorang pendiri partai oposisi yang diberi nama Liga Nasional Demokrasi (NLD), dan meraih sukses bersamanya di panggung politik.
Mengaku terinspirasi oleh Mahatma Gandhi, ia melarang penggunaan kekerasan dalam pergerakan, dan menyerukan junta militer menyerahkan kekuasaan kepada rezim sipil. Semua itu demi menciptakan alam demokratis agar warga di negara beragam etnis dan mayoritas penganut Buddha itu bisa bekerja dalam harmoni.
Setelah melalui berbagai rintangan, per 30 Maret 2016 ia relatif sukses mengawal transisi kekuasaan dari pemerintahan diktator militer, menjadi Myanmar hari ini. Sosok yang disebut kalangan dekatnya sebagai pribadi menawan dan karismatik, namun tajam dan otoriter, tampak loyo saat menghadapi krisis Rohingya.
Krisis yang disebut banyak pihak sebagai tragedi kemanusiaan itu seolah di luar radar Suu Kyi. Ia dikritik karena bungkam atas apa yang sebenarnya terjadi pada warga Rakhine--sekitar satu juta muslim Rohingya--wilayah di pantai barat Myanmar.
Terhadap insiden berdarah pada 25 Agustus 2017 lalu, pernyataan resmi Suu Kyi yang dirilis media setempat berisi kutukan terhadap kelompok ekstrimis, yang juga disebutnya "teroris". Keprihatinan dan dukungan mendalam diberikan kepada polisi dan aparat keamanan serta keluarga korban penyerangan pada Jumat kelabu itu.
Setidaknya 89 orang, termasuk lusinan aparat keamanan, tewas akibat serangan yang dilakukan oleh sekitar 150 orang bersenjatakan pisau dan bahan peledak rumahan. Serangan itu menyasar 30 pos polisi di Rakhine. Arakan Rohingya Salvation Army, atau menyebut dirinya Harakah al-Yaqin, mengklaim bertanggung jawab.
Namun terhadap dugaan "serangan balasan" aparat keamanan Myanmar yang diperkirakan menewaskan ratusan masyarakat sipil, dan ratusan ribu lainnya harus mengungsi ke berbagai lokasi, ia sama sekali tak berkomentar.
Insiden berdarah itu terjadi, hanya dua hari pasca-penyerahan laporan final hasil investigasi Komisi Penasehat untuk Rakhine (Rakhine State Advisory Commission), terhadap krisis berkepanjangan di wilayah yang dulu bernama Arakan. Komisi itu awalnya mendapat penolakan kubu nasionalis Myanmar karena dipimpin oleh orang asing.
Komisi terbentuk September tahun lalu, dan Suu Kyi menunjuk Kofi Annan yang juga mantan Sekretaris Jenderal PBB sebagai ketua, melalui Kofi Annan Foundation. Saat itu pemerintah Myanmar menyatakan mereka ingin mencari solusi permanen terhadap rumitnya isu di Rakhine. Komisi itu diberi tenggat hingga 5 September 2017.
Angin segar pun sempat bertiup. Namun sebulan setelah terbentuk, insiden berdarah terjadi di Rakhine, tepatnya pada 8 Oktober 2016. Dalam laporan CNN, lebih dari selusin tentara dan polisi terbunuh sejak Jumat itu, saat markas polisi di kota Maungtaw diserang oleh sekitar 300 orang tak dikenal bersenjatakan pisau, pedang, dan pistol.
Aparat keamanan Myanmar pun bereaksi keras. Menurut laporan kelompok aktivis hak asasi manusia, telah terjadi pembunuhan massal, pemerkosaan, dan penghancuran desa-desa oleh aparat keamanan. Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai ratusan, namun sulit dipastikan karena akses wartawan dan organisasi pemantau sangat dibatasi.
Apa komentar Suu Kyi terhadap laporan itu? Juga nihil. Terhadap segala tudingan atas pelbagai penindasan aparat Myanmar yang terjadi di Rakhine, perempuan yang selama 21 tahun berstatus sebagai tahanan politik itu dinilai tak mau ambil pusing.
Saat Kofi Annan menuju Myanmar menjalankan tugasnya, Suu Kyi dalam tur tiga hari ke Singapura. Tanpa menyinggung secuil pun tentang insiden Rakhine, "Sang Nyonya" menyatakan di hadapan publik Singapura bahwa rekonsiliasi nasional dan perdamaian adalah sesuatu yang tak bisa ditawar, agar Myanmar bisa bergerak maju.
Tak bisa disangkal bahwa hadiah Nobel Perdamaian atas namanya mendulang dukungan dunia terhadap perjuangan penegakan demokrasi di Myanmar. Maka tak heran bila dunia kini mempertanyakan capaiannya itu, lantaran seolah bisu dan tuli atas tudingan kekerasan menjurus genosida oleh aparat terhadap Rohingya di Rakhine.
Tak kurang Muhammad Yunus, bersama puluhan penerima nobel lainnya termasuk Malala Yousafzai--penerima Nobel Perdamaian 2014--memperingatkan Suu Kyi atas situasi ini akhir tahun lalu. Di akun Facebook-nya, termuat surat terbuka untuk PBB agar segera mengakhiri krisis kemanusiaan di Myanmar.
Dibuka dengan kekhawatiran terhadap berlangsungnya "tragedi kemanusiaan", ia menulis:
"Meski berulang kali memohon kepada Daw Aung San Suu Kyi, kami merasa frustasi karena ia tak kunjung berbuat sesuatu untuk memastikan hak kewarganegaraan bagi warga Rohingya. Daw Suu Kyi adalah pemimpin, dan dialah yang bertanggung jawab untuk memimpin, memimpin dengan keberanian, kemanusiaan, dan kasih sayang."
Selain bantahannya terhadap tudingan kejahatan kemanusiaan oleh negara di Myanmar, Suu Kyi bergeming. Sikap diam itu mulai menimbulkan tanya, setelah 10 bulan ditampuk kekuasaan. Saat itu salah seorang penasehat hukumnya--seorang muslim pengacara yang populer--dibunuh orang tak dikenal.
Ko Ni (65), berperan penting dalam penciptaan posisi "state counsellor" yang kini dinikmati Suu Kyi. Penasehat hukum partai NLD itu tewas ditembak pada 29 Januari 2017, saat berdiri di bandara internasional Yangon, sambil menggendong cucunya. Selama sebulan, Suu Kyi membisu. Bahkan kepada pihak keluarga.
Lalu saat ratusan orang terbunuh, termasuk anak-anak. Desa-desa hangus terbakar hingga rata dengan tanah. Ratusan ribu orang putus asa tak tahu harus lari kemana, terancam nyawanya demi lepas dari laku brutal pembalasan dendam yang menurut laporan dilakukan elemen pemerintahannya.
Pernyataan terakhir dari staf kantor pemerintah--yang belakangan dihapus dari Facebook--justru menebar ketakutan yang lain. Pemerintah Myanmar menuduh lembaga bantuan kemanusiaan internasional, termasuk organisasi di bawah PBB, turut membantu kelompok teroris yang mengaku bertanggung jawab atas serangan 25 Agustus lalu.
Lantaran tuduhan itu, Reuters (h/t SMH) melaporkan, sekitar 120 ribu warga muslim Rohingya penghuni tenda pengungsian di Rakhine tak bisa menerima bantuan bahan makanan atau layanan kesehatan. Kontraktor World Food Program menghentikan operasi untuk sementara, karena stafnya ngeri terdampak tuduhan tersebut.
Masalah Suu Kyi, memang bukan hanya Rohingya. Myanmar, seperti Indonesia, terdiri dari ratusan lebih kelompok etnis yang unik. Konflik bersenjata dengan beberapa kelompok itu terjadi selama lebih dari satu dekade--akibat rezim sebelumnya. Gencatan bersenjata dengan perlbagai pihak telah ditandatangani untuk menghentikannya.
Dalam sebuah konferensi perdamaian di Myanmar, Sekjen PBB Ban Ki-moon yang turut hadir menegaskan, pendekatan militeristik bukan solusi bagi perbedaan antar-elemen etnis di Myanmar. Ajang 21st Century Panglong Conference itu sukses menghadirkan perwakilan dari pihak yang selama ini bertikai, kecuali perwakilan muslim Rohingya.
Etnis Rohingya, tak dianggap sebagai bagian dari negeri itu, karena hanya mengakui 135 etnis sebagai warga negara. Istilah "Rohingya" pun dinafikan sebagai entitas resmi oleh pemerintahan saat ini, seperti juga pemerintahan sebelumnya. Rohingya harus memilih menjadi "Bengali" bila ingin diakui sebagai warga negara Myanmar.
Dengan pemerintahan yang belum genap dua tahun, Suu Kyi dalam sebuah jumpa pers bersama Menlu AS, John Kerry, di Myanmar tahun lalu, meminta "diberi ruang" untuk menyelesaikan masalah di Rakhine. Ia mengakui ini bukan perkara mudah, karena banyak hal sensitif--terutama menyangkut sentimen etnis dan agama.
"Kami ingin menghindari istilah yang hanya akan menyiram bensin ke tengah api yang tengah berkobar," ujarnya ihwal istilah "Rohingya" untuk komunitas muslim di Rakhine. "Sembari kami mencari solusi, kami berharap bantuan dari 'teman-teman', karena bila tidak siap membantu, upaya ini akan menjadi semakin sulit," imbuhnya.
Menurut pengamatan Murray Hiebert, Penasehat Senior dan Wakil Direktur CSIS untuk Program Asia Tenggara, pada momen itulah kata "Ronghiya" meluncur dari mulut Suu Kyi untuk pertama kalinya di depan publik.